Jakarta (Lampost.co): Anggota Komisi I DPR dari Fraksi NasDem Muhammad Farhan yakin beleid Revisi Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran akan lebih sempurna dengan keterlibatan publik.
“Saya kira masukan masyarakat sangat penting. Pro aktifnya masyarakat akan bermanfaat untuk penyempurnaan Revisi UU Penyiaran,” kata Farhan melalui keterangan tertulis, Kamis (23/5).
Menurut Farhan, Revisi UU Penyiaran berawal dari sebuah persaingan politik antaralembaga berita melalui platform teresterial versus jurnalisme platform digital. Pada beleid revisi UU tersebut terdapat peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
“Ini kan lagi perang ini. Jadi, Revisi UU yang ada ini, itu memang memberikan kewenangan KPI terhadap konten lembaga penyiaran teresterial,” ujar Farhan.
Ia menuturkan teresterial bermakna penyiaran yang menggunakan frekuensi radio VHF / UHF seperti halnya penyiaran analog. Namun, dengan format konten yang digital.
Tetapi KPI ataupun Dewan Pers, lanjut Farhan, tidak punya kewenangan terhadap platform digital. Ketika lembaga jurnalistik yang menggunakan platform digital dan mendaftarkan ke Dewan Pers, maka itu menjadi kewenangan Dewan Pers.
“Lembaga pemberitaan atau karya jurnalistik yang hadir di digital platform ini kan makin lama makin menjamur, enggak bisa dikontrol juga sama dewan pers, maka keluarlah ide Revisi UU Penyiaran ini,” ujar Farhan.
Ia menambahkan risiko apabila lembaga tersebut membuat produk jurnalistik di platform digital dan tidak mendaftarkan diri ke Dewan Pers. Pada tahap ini, Dewan Pers tak punya kewenangan atas lembaga tersebut.
“Risikonya apa? Kalau sampai ia mendapat tuntutan. Misalkan menjelek-jelekkan saya. Lalu, saya nuntut ke pengadilan, maka tidak ada UU Pers yang akan melindunginya karena tidak terdaftar di dewan pers. Kira-kira begitu,” kata Farhan.
Draf revisi UU tentang Penyiaran menuai kontroversi. Pasal 50 B ayat 2 huruf (c) menjadi pasal yang paling menjadi sorotan lantaran memuat aturan larangan adanya penyiaran eksklusif jurnalistik investigasi.