Bandar Lampung (Lampost.co)— Kurang darah atau anemia tandanya dengan hasil pemeriksaan kadar hemoglobin (Hb) dalam darah lebih rendah dari normal.
Hemoglobin berfungsi untuk membawa oksigen dan mengantarkannya ke seluruh sel jaringan tubuh. Kekurangan oksigen dalam jaringan juga akan memicu dampak pada fungsi otak.
Di Indonesia, anemia masih menjadi masalah kesehatan masyarakat, termasuk pada balita hingga remaja. Menurut data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, prevalensi anemia pada usia 0-4 tahun mencapai 23,8 persen.
5-14 tahun mencapai 15,3 persen, dan 15-24 tahun mencapai 15,5 persen. Angka ini termasuk tinggi, di atas standar ukuran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2011 yang sebesar 10-13 persen.
Baca juga: Ibu Hamil yang Anemia Berisiko Lahirkan Bayi Prematur
Jika membandingkan dengan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, kasus anemia di Indonesia menurut data tersebut memang mengalami penurunan.
Tercatat sebesar 38,5 persen anak usia 0-59 bulan mengalami anemia, usia 5-14 tahun sebesar 26,8 persen, dan 32 persen pada usia 15-24 tahun pada data 2018.
Anemia penyebabnya bisa dari berbagai hal, antara lain defisiensi zat besi, defisiensi vitamin B12. Defisiensi asam folat, penyakit infeksi, faktor bawaan, dan perdarahan.
WHO mengatakan kekurangan zat besi sebagai penyebab anemia yang paling umum pada anak di dunia. Hal serupa juga terjadi di Indonesia.
Miskin Zat Gizi Besi
Menurut Buku Pedoman Penatalaksanaan Pemberian Tablet Tambah Darah Kementerian Kesehatan RI, pola makan yang miskin zat gizi besi. Tingginya prevalensi kecacingan, dan tingginya prevalensi malaria di daerah endemis merupakan faktor-faktor yang sering mengkaitkannya dengan tingginya defisiensi besi di negara berkembang.
Anak yang mengalami anemia defisiensi zat besi biasanya mengeluhkan beberapa gejala. Spesialis anak dr Ratih Puspita, SpA, mengatakan gejalanya dapat berupa nafsu makan kurang baik. Pertumbuhan tidak optimal, sampai anemia yang memicu gejala pucat, lemah, letih, lesuh, dan kurang berkonsentrasi.
Dampak Anemia Defisiensi Zat Besi Pada Anak
Anak yang mengalami anemia defisiensi zat besi juga dapat mengalami dampak pada fungsi otak. Di kemudian hari, hal ini bisa berdampak negatif pada pembelajaran dan prestasi sekolah.
Bahkan, perkembangan kognitif anak juga dapat terpengaruh jika ibu kekurangan zat besi selama trimester terakhir kehamilannya. Anak yang mengalami anemia defisiensi zat besi di sebut memiliki risiko nilai IQ (intelligence quotient) yang lebih rendah di bandingkan anak sehat.
Baca juga: Berikut 10 Penyakit Paling Mematikan di Dunia Menurut WHO
Mantan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional atau Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. Hasto Wardoyo, dalam suatu kesempatan membeberkan jika rata-rata dari skor IQ anak Indonesia pada tahun 2022 hanya mencapai 78,49.
Angka tersebut terungkap dari data World Population Review 2022. Indonesia berada peringkat 130 dari 199 negara yang ada di dunia menurut data tersebut.
Capaian IQ tersebut, lebih rendah jika membandingkan dengan negara tetangga lainnya seperti rata-rata IQ anak di Laos 80,99, Filipina 81,64. Brunei Darussalam 87,58, Malaysia 87,58, Thailand 88,87, Vietnam 89,53 dan Myanmar 91,18.
Masalah Kesehatan
Menurut Hasto rendahnya kualitas dan IQ pada anak penyebabnya karena faktor-faktor.Salah satunya terkait masalah kesehatan seperti anemia.
“Keprihatinan tentu terasa, ketika kita lihat World Population Review menyampaikan bahwa IQ bangsa kita cukup rendah di bandingkan dengan beberapa negara yang lain,” katanya.
Spesialis anak sekaligus konsultan neonatologi Dr dr Johanes Edy Siswanto, SpA(K) menjelaskan mengapa anemia defisiensi zat besi bisa berdampak pada otak anak.
Menurutnya, zat besi penting untuk pembentukan hemoglobin yang berguna mengangkut oksigen melalui pembuluh darah yang mencapai setiap target organ, termasuk otak.
Ia menyebut ada tiga komponen organ utama yang utama atau menjadi prioritas dalam mendapatkan oksigen, yakni otak, jantung, dan paru-paru.
Apabila selama dua atau tiga menit tidak mendapatkan oksigen, bisa memicu kerusakan terhadap organ tersebut. Oleh karena itu, ia menyebut ‘masuk akal’ jika kerusakan otak bisa berkaitan dengan IQ atau intelegensi anak.
“Menjadi sangat penting dalam hubungan dengan tingkat Hemoglobin dan jumlah Fe (zat besi) sebagai bahan pembentukan Hemoglobin,” katanya.
Pengaruh Negatif
Senada, dokter spesialis anak dr Kurniawan Satria Denta, SpA menjelaskan anemia defisiensi zat besi punya pengaruh negatif pada perkembangan otak anak.
Hal ini karena zat besi memiliki peran esensial terhadap perkembangan otak anak, seperti produksi neurotransmitter, yakni zat besi diperlukan untuk sintesis dopamin. Serotonin, dan GABA (Gamma-aminobutyric acid), yang memengaruhi suasana hati, perhatian, dan pembelajaran.
Fungsi lain zat besi adalah mielinisasi, yakni pembentukan mielin atau lapisan pelindung di sekitar saraf otak yang mempercepat transmisi sinyal saraf.
Penting juga untuk energi sel otak, saat zat besi di butuhkan agar sel darah merah bisa mengantarkan oksigen yang cukup ke otak.
“Tidak secara langsung, tapi memang bisa jadi salah satu faktor yang berpengaruh negatif terhadap kognitif anak,” katanya.
Dampak Anemia
Dampak anemia terhadap otak anak juga mengungkap dalam penelitian yang melakukan organisasi kajian nirlaba Fokus Kesehatan Indonesia (FKI). Penelitian tersebut menemukan bahwa anak-anak sekolah dasar yang kekurangan zat besi dan berisiko mengalami anemia. Kekurangan energi, dan memiliki perawakan pendek terbukti berisiko gangguan kemampuan belajar.
Bahkan berisiko tiga kali lipat lebih tinggi untuk mengalami gangguan memori kerja (working memory) di bandingkan dengan anak-anak yang memiliki status gizi baik.
Penelitian yang pimpinan Direktur Eksekutif FKI, Prof Nila F Moeloek dan Koordinator Riset dan Kajian FKI Dr dr Ray Wagiu Basrowi, MKK, FRSPH. Meneliti 500 anak Sekolah Dasar (SD) di Jakarta wilayah Manggarai dan Tanjung Priok.
“Penelitian FKI ini membuktikan bahwa fakta adanya kondisi kurang gizi, dan anemia defisiensi besi pada anak SD ini bisa mengancam prestasi akademik murid sekolah dasar di kemudian hari. Apabila jika ini terjadi pada jumlah anak yang lebih banyak,” katanya.
“Dari evaluasi kami juga ditemukan bahwa murid sekolah dasar kelas 3 hingga 5 di Jakarta hampir 30 persen anak yang anemia mengalami gangguan memori kerja. Gangguan ini secara langsung berdampak pada kemampuan mereka untuk konsentrasi, memproses dan menyimpan informasi saat belajar,” ungkap dr Ray.
Lebih dari 19 persen anak-anak dalam studi ini juga terbukti mengalami anemia, yang sebagian besar penyebabnya oleh kekurangan zat besi. Prof Nila Moeloek dan Dr Ray Basrowi menjelaskan,
“Ironisnya, anemia bukan hanya masalah kesehatan fisik tetapi juga sangat memengaruhi kemampuan kognitif anak-anak,” tandas mereka.
“Anak-anak dengan anemia memiliki skor memori kerja yang jauh lebih rendah, bahkan berdampak klinis yang sangat nyata. Anemia Kurang besi secara langsung membatasi kemampuan anak untuk menyerap informasi, berpikir logis, dan berpartisipasi aktif di kelas,” ujar kedua inisiator Fokus Kesehatan Indonesia (FKI) ini.
Cara Mencegah Anemia pada Anak
Anemia defisiensi zat besi sebenarnya dapat diatasi bila asupan makanan sehari-hari mengandung cukup zat besi, seperti nutrisi dan suplemen.
Ratih mengatakan bayi yang masih mengonsumsi Air Susu Ibu (ASI) harus mendapatkan suplementasi zat besi rutin sampai usia 2 tahun. Apabila sudah mulai makan, anak harus mengonsumsi makanan yang cukup zat besi.
Contoh nutrisi zat besi yang bisa didapatkan berasal dari pangan hewani, seperti pada hati, ikan, dan daging (sapi kambing), unggas.
Zat besi dalam sumber pangan hewani (besi heme) dapat diserap tubuh antara 20-30 persen menurut buku Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Anemia pada Remaja Putri dan Wanita Usia Subur (WUS) Kemenkes RI 2018. Zat besi pada pangan hewani disebut besi heme (heme iron), yang mudah diserap tubuh.
Pangan nabati (tumbuh-tumbuhan) juga mengandung zat besi (besi nonheme). Namun jumlah zat besi dari pangan nabati yang bisa terserap oleh usus jauh lebih sedikit dibanding zat besi dari bahan makanan hewani. Zat besi nonheme (pangan nabati) yang dapat diserap oleh tubuh adalah 1-10 persen.
“Nutrisi/suplemen yang mengandung Fe (zat besi) sangat penting dalam pertumbuhan anak terutama dalam 1.000 hari pertama kehidupan termasuk harus di maintenance sejak masa prenatal,” kata dr Johanes.
Contoh pangan nabati sumber zat besi adalah sayuran berwarna hijau tua (bayam, singkong, kangkung) dan kelompok kacang-kacangan (tempe, tahu, kacang merah). Masyarakat Indonesia lebih dominan mengonsumsi sumber zat besi yang berasal dari nabati.
Anda juga dapat referensi berita atau artikel terkait kesehatan lainnya dengan membaca di website idikotarembang.org