Jakarta (lampost.co)–Majelis Ulama Indonesia (MUI) merespons wacana Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi terkait rencana menjadikan vasektomi sebagai syarat penerima bantuan sosial (bansos). Komisi Fatwa MUI menegaskan bahwa hukum vasektomi menurut MUI adalah haram jika tujuannya pemandulan permanen.
Menurut hasil Ijtima Ulama, tindakan medis vasektomi tidak boleh kecuali dalam kondisi khusus yang memenuhi lima kriteria ketat. Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI, KH Abdul Muiz Ali, menjelaskan bahwa keputusan ini telah melalui pertimbangan syariat Islam, perkembangan teknologi medis, serta kaidah ushul fiqih.
“Vasektomi secara prinsip adalah tindakan yang mengarah pada pemandulan, dan dalam pandangan syariat, hal itu terlarang. Namun, dengan perkembangan teknologi yang memungkinkan rekanalisasi (penyambungan kembali saluran sperma), maka hukum bisa menjadi berbeda dengan syarat-syarat tertentu,” ujar KH Abdul Muiz Ali atau atau Kiai AMA.
Lima Syarat
Kiai AMA menjabarkan lima syarat agar vasektomi tidak haram. Pertama, prosedur ini untuk tujuan yang tidak bertentangan dengan syariat Islam. Kedua, vasektomi tidak boleh mengakibatkan kemandulan permanen. Ketiga, harus ada jaminan medis bahwa saluran sperma bisa disambung kembali dan fungsi reproduksi dapat kembali seperti semula.
Keempat, tindakan ini tidak boleh menimbulkan bahaya atau mudarat bagi pelakunya. Kelima, vasektomi tidak boleh masuk dalam kategori kontrasepsi mantap atau permanen.
Meskipun ada kemungkinan rekanalisasi, Kiai AMA menegaskan bahwa haramnya vasektomi tetap berlaku karena hasilnya tidak bisa dijamin. “Karena hingga hari ini rekanalisasi masih susah dan tidak menjamin pengembalian fungsi seperti semula,” tegasnya.
Ia juga menyebut bahwa meski teknologi medis sudah berkembang, tingkat keberhasilan rekanalisasi tetap rendah dan sangat tergantung banyak faktor. Bahkan, biaya rekanalisasi jauh lebih mahal ketimbang vasektomi itu sendiri.
Harus Transparan
Karena alasan tersebut, MUI mengingatkan pemerintah untuk tidak mempromosikan vasektomi secara terbuka dan besar-besaran. “Pemerintah harus transparan dan objektif dalam sosialisasikan vasektomi, termasuk menjelaskan biaya rekanalisasi yang mahal dan potensi kegagalannya,” ungkap Kiai AMA.
Ia menekankan bahwa masyarakat perlu diberikan edukasi tentang pentingnya membentuk keluarga sehat dan bertanggung jawab. Penggunaan alat kontrasepsi, tambahnya, harus untuk pengaturan kelahiran (tanzhim al-nasl), bukan pembatasan permanen (taqti’ al-nasl). Terlebih lagi, vasektomi tidak boleh jadi alasan untuk menjalani gaya hidup bebas yang bertentangan dengan ajaran agama.