
Widyaiswara Ahli Madya, BPSDM Provinsi Lampung
HUTAN bukan sekadar gugusan pepohonan, melainkan penopang kehidupan. Ia menjadi penjaga keseimbangan iklim, penyedia oksigen, penyimpan karbon, serta habitat bagi jutaan spesies. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, tekanan terhadap ekosistem hutan semakin besar. Dampaknya semakin nyata: banjir besar terjadi di berbagai daerah pada tahun 2024 hingga 2025, perubahan pola hujan semakin ekstrem, dan suhu global terus meningkat. Fenomena ini menunjukkan bahwa krisis lingkungan bukan lagi sekadar ancaman masa depan, tetapi sudah menjadi kenyataan yang kita hadapi saat ini.
Di tengah tantangan ini, rimbawan hadir sebagai penjaga ekosistem hutan. Mereka bekerja di pusat dan daerah, di laboratorium penelitian, hingga di medan berat di pedalaman hutan. Sebagai pilar utama dalam pengelolaan lingkungan, rimbawan memiliki peran strategis dalam memastikan hutan tetap menjadi sumber kehidupan yang lestari. Setiap 16 Maret, rimbawan memperingati Hari Bakti Rimbawan, momen untuk refleksi terhadap perjalanan panjang dalam menjaga ekosistem hutan Indonesia.
Dinamika Rimbawan dan Tantangan di Era Perubahan Iklim
Sebagai negara dengan hutan tropis terbesar ketiga di dunia, Indonesia memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga ekosistem hutan. Namun, berbagai tantangan semakin menguji ketahanan rimbawan dalam menjalankan tugasnya.
-
Deforestasi dan Perubahan Iklim: Ancaman Nyata
Deforestasi masih menjadi ancaman utama bagi kelestarian lingkungan. Laju deforestasi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir mencapai 110 ribu hektare per tahun (KLHK, 2024). Meski mengalami penurunan dibandingkan dekade sebelumnya, dampaknya tetap besar, terutama terhadap meningkatnya bencana hidrometeorologi. Beberapa kejadian banjir besar yang terjadi di Indonesia pada 2024 dan awal 2025 menunjukkan dampak langsung dari degradasi hutan dan perubahan iklim. Tahun 2024, banjir besar melanda Jakarta dan Semarang akibat curah hujan ekstrem serta berkurangnya daerah resapan air. Intensitas hujan dalam satu dekade terakhir meningkat hingga 30% dibandingkan periode sebelumnya, sebagai dampak dari perubahan iklim (BMKG 2024). Tahun 2025, cuaca ekstrem kembali terjadi dengan intensitas badai tropis yang meningkat, menyebabkan gelombang tinggi di pesisir dan hujan deras yang berujung pada banjir bandang di berbagai daerah di Indonesia.
Selain banjir, Indonesia juga mengalami peningkatan suhu rata-rata tahunan sebesar 0,9°C sejak tahun 1900, dengan tren yang semakin meningkat akibat perubahan iklim global (Laporan IPCC, 2024). Dalam konteks global, Perjanjian Paris yang ditandatangani oleh Indonesia pada 2015 menetapkan target untuk menurunkan emisi karbon sebesar 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada 2030. Hal ini sejalan dengan SDGs Tujuan 13 (Penanganan Perubahan Iklim) dan Tujuan 15 (Kehidupan di Darat). Sebagai bagian dari komitmen tersebut, Indonesia telah menerapkan berbagai strategi, termasuk moratorium izin pembukaan hutan primer dan lahan gambut, serta restorasi ekosistem mangrove dan gambut sebagai langkah mitigasi perubahan iklim.
-
Sinergi Rimbawan: Dari Pusat, Daerah, hingga Global
Keberlanjutan hutan tidak bisa tercapai hanya oleh satu pihak. Butuh sinergi antara pemerintah, akademisi, masyarakat adat, dunia usaha, dan komunitas internasional untuk memastikan keberlanjutan ekosistem hutan. Kolaborasi Multi-Pihak baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, juga Perguruan Tinggi dengan kewenangan masing-masing seperti Mengembangkan kebijakan kehutanan berbasis sains dan data terbaru oleh Pemerintah Pusat, mengawal implementasi keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan (Pemerintah Daerah), serta berperan dalam penelitian serta pengembangan teknologi kehutanan (Perguruan Tinggi).
Salah satu program strategis yang diperkuat adalah Perhutanan Sosial, yang telah memberikan akses kelola hutan kepada lebih dari 5,5 juta hektare lahan untuk masyarakat (KLHK, 2024). Program ini tidak hanya menjaga kelestarian hutan, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan, juga mendukung Pembangunan Berkelanjutan, khususnya Tujuan 1 SDGs (Tanpa Kemiskinan) dan Tujuan 8 SDGs (Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi).
-
Pendidikan dan Inovasi: Rimbawan di Era Digital
Teknologi semakin berperan dalam mendukung keberlanjutan kehutanan. Rimbawan masa kini harus menguasai inovasi teknologi agar dapat bekerja lebih efektif dalam pemantauan dan perlindungan hutan. Teknologi yang Mendukung Konservasi Hutan, seperti drone dan satelit dalam memantau perubahan tutupan lahan secara real-time, Geographic Information System (GIS) dalam menganalisis kondisi hutan. Hal itu untuk perencanaan pembangunan kehutanan, serta kecerdasan buatan (AI) dalam membantu pembangunan kehutanan secara keseluruhan, juga mengolah data lingkungan dan memprediksi potensi kebakaran hutan.
Dalam mendukung hal teresbut perlu dukungan para pihak dalam memfasilitasi pendanaan dalam beasiswa dan pelatihan seperti CIFOR, FAO, serta WWF. Lembaga membuka peluang bagi generasi muda untuk menjadi pemimpin di sektor kehutanan. Hal ini juga akan mendukung Cita ke-6 dan Cita ke-7 dalam Asta Cita Kabinet Merah Putih 2024-2029 yang menekankan kemandirian ekonomi dan keberlanjutan lingkungan.
Hari Bakti Rimbawan: Dari Refleksi ke Aksi Nyata
Hari Bakti Rimbawan bukan sekadar seremoni, tetapi momentum untuk memperkuat langkah dalam menjaga kelestarian hutan. Selain membangun komitmen perlu juga langkah strategis yang harus diperkuat diantaranya meningkatkan kebijakan kehutanan berbasis sains dan teknologi. Kemudian memperkuat sinergi antara pemerintah, masyarakat, akademisi, dan dunia usaha. Selanjutnya mengoptimalkan teknologi digital dalam pemantauan hutan. Selain itu menegakkan hukum lingkungan dengan lebih tegas terhadap perusakan hutan, serta mengintegrasikan upaya kehutanan dengan SDGs dan Perjanjian Paris.
Saat dengan kita menjaga hutan, kita sedang menjaga masa depan. Karena hutan yang lestari adalah kunci bagi peradaban yang berkelanjutan. Salam Lestari!