Bandar Lampung (Lampost.co) – Akademisi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Andalas (Unand)., Sumatera Barat (Sumbar) Dewi Anggraini mengaku khawatir apabila masyarakat mulai menganggap praktik politik uang merupakan sebuah kewajaran dalam pesta demokrasi.
“Saya melihat praktik politik uang mulai teranggap sebuah kelaziman,” kata Dewi Anggraini, Selasa, 3 September 2024.
Kemudian Dewi mencontohkan, seseorang yang akan maju pada pemilu datang kepada masyarakat dan memberikan sejumlah uang. Lalu saat bersamaan, konstituen yang menerima uang tersebut beranggapan mereka harus memberikan suaranya kepada calon itu saat pemilihan.
Lalu ia mengatakan sebagian masyarakat yang menerima uang itu lebih berpikir pragmatis. Dan memanfaatkan momentum pilkada untuk kepentingan sesaat. “Jadi, ada semacam pola pikir barter dari masyarakat. Mereka berpikir sosok yang terpilih nantinya juga tidak peduli atau kenal lagi dengan masyarakat,” ujarnya.
Kemudian ia mengatakan pada umumnya praktik politik uang kerap terjadi pada kalangan akar rumput. Mereka yang pemahaman politiknya tergolong minim. Terbatasnya literasi politik yang mereka dapatkan menyebabkan kelompok tersebut lebih berpikir pragmatis.
Kendati demikian, Dewi meyakini masyarakat yang memiliki pemahaman politik yang luas., tidak mudah terjebak dalam politik uang. Kelompok ini lebih cenderung berpikir untuk mencari sosok pemimpin yang bisa membangun daerah. Daripada menerima sejumlah uang dari seseorang calon.
Kemudian ia menegaskan penyadartahuan kepada publik tentang politik uang perlu masif teredukasi oleh penyelenggara pemilu hingga pemerintah daerah. Selain bermuara pada pidana, politik uang juga mencederai nilai-nilai demokrasi.
“Masyarakat harus tahu bahwa politik uang ini bisa berujung pada pidana. Artinya, perlu sosialisasi yang masif dari pemangku kepentingan,” katanya.
Sementara itu, Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja menyebutkan berkaca dari data tren putusan tindak pidana pemilihan secara nasional tahun 2020. Terdapat puluhan kasus yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Kemudian ia menyebutkan sebanyak 65 kasus kepala desa atau pejabat Aparatur Sipil Negara (ASN). Mereka melanggar Pasal 188 karena melakukan tindakan menguntungkan atau merugikan pasangan calon.
Berikutnya, 22 kasus melanggar Pasal 187 A Ayat 1 yakni memberi dan atau menjanjikan uang dan atau materi lainnya. Ada juga 12 kasus melanggar Pasal 178 B memberikan suara lebih dari sekali di satu atau lebih TPS. Kasus lainnya, 10 kasus melanggar Pasal 187 Ayat 3 yakni melanggar ketentuan kampanye.