Jakarta (Lampost.co) — Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri kembali mengungkap pola baru perekrutan terorisme yang menyasar anak dan pelajar melalui gim online serta media sosial. Aparat menangkap lima tersangka yang diduga aktif mengajak anak di bawah umur bergabung dengan jaringan teror.
Poin Penting:
-
Densus 88 menangkap lima pelaku perekrut terorisme.
-
Modus perekrutan memakai gim online dan media sosial.
-
Polri memperingatkan ancaman radikalisasi digital semakin serius.
Tiga Operasi Penangkapan
Juru Bicara Densus 88 Antiteror, AKBP Mayndra Eka Wardhana, mengatakan penangkapan para tersangka berlangsung melalui tiga operasi sejak akhir 2024 hingga November 2025. “Dalam setahun ini, ada lima tersangka dewasa yang kamiamankan,” ujar Mayndra saat konferensi pers di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa, 18 November 2025.
Lima pelaku tersebut, yakni FW alias YT (47), LM (23), PP alias BMS (37), MSPO (18), dan JJS alias BS (19).
Baca juga:
Menurut Mayndra, temuan terbaru menunjukkan eskalasi serius. Lebih dari 110 anak dan pelajar teridentifikasi telah menjadi target perekrutan dalam kurun 2025. “Tahun ini, lebih dari 110 anak dan pelajar sudah teridentifikasi terpapar dan direkrut,” ungkapnya.
Modus Perekrutan lewat Gim Online
Selain itu, penyidik menemukan para tersangka memanfaatkan gim online dan ruang percakapan tertutup untuk membangun komunikasi dengan korban. Mereka memulai pendekatan dengan obrolan ringan, lalu menyisipkan konten radikal hingga doktrin kekerasan.
Karo Penmas Divisi Humas Polri, Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko, menambahkan para tersangka memiliki peran berbeda. Namun, semuanya terhubung dalam satu rangkaian upaya perekrutan. “Mereka berperan sebagai perekrut dan pengendali komunikasi kelompok melalui media sosial,” kata Trunoyudo.
Ia juga menegaskan para tersangka mengarahkan anak dan pelajar agar menerima ideologi radikal. Setelah itu, mendorong korban bergabung dengan kelompok teror dan menyiapkannya melakukan aksi kekerasan. “Mereka memengaruhi anak-anak supaya radikal, bergabung dengan jaringan terorisme, dan siap melakukan aksi teror,” ujarnya.
Ancaman Baru dan Respons Polri
Kasus ini kembali menegaskan jaringan teror terus beradaptasi dengan pola digital. Karena itu, Polri memperkuat pemantauan ruang daring, terutama platform gim online yang kini rentan menjadi ruang infiltrasi ideologi.
Polri juga mendorong sekolah dan orang tua terlibat dalam pengawasan perilaku digital anak. Dengan demikian, potensi penyebaran radikalisme sejak dini dapat ditekan.








