Bandar Lampung (Lampost.co) — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia (RI), menetapkan tiga orang tersangka. Ini terkait operasi tangkap tangan (OTT) perkara suap pengelolaan Kawasan Hutan, Register 42,42, dan 46, Kabupaten Way Kanan, Provinsi Lampung.
Sebelumnya, KPK mengamankan 9 orang dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada wilayah Bogor, Depok dan Bekasi Jawa Barat serta DKI Jakarta, Rabu, 13 Agustus 2025. Satu orang yang tertangkap pada wilayah Bekasi adalah Aditya selaku staf perizinan SB Grup. Lalu, satu orang pada wilayah Depok yaitu Bakhrizal Bakri selaku mantan Direktur PT. INH, dan satu orang wilayah Bogor yaitu Yuliana selaku eks Direktur PT. Inhutani V.
Sementara mereka yang tertangkap pada Jakarta yakni, Dicky Yuana Rady selaku Direktur Utama PT. Inhutani V; Raffles selaku Komisaris PT. Inhutani V; Djunaidi selaku Direktur PT. Paramitra Mulia Langgeng (PT PML); Arvin selaku staf PT. PML; Joko dari SB Grup; dan Sudirman dari PT. PML.
Namun hanya tiga orang yang tertetapkan sebagai tersangka yakni; Djunaidi (DJN) sebagai Direktur PT. Paramitra Mulia Langgeng (PML). Kemudian Aditya (ADT) sebagai Staf Perizinan SB Grup. Lalu Dicky Yuana Rady (DIC) sebagai Direktur Utama PT. Inhutani V, anak perusahaan dari BUMN Perhutani.
“KPK menetapkan tiga orang sebagai tersangka, DJN selaku Direktur PT PML, ADT selaku pemberi, dan DIC selaku penerima,” ujar Pelaksana Tugas (Plt.) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu, saat kompers Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis, 14 Agustus 2025.
Izin Pengelola Hutan
Kemudian menurut Asep, Inhutani memiliki hak areal hutan Provinsi Lampung, yang luasnya mencapai 56.547 hektare. Sebanyak 55.157 hektare hak areal bekerjasamakan dengan PT. PML melalui perjanjian kerja sama (PKS). Ini yang meliputi wilayah Register 42 seluas 12.727 hektare, register 44 seluas 32.375 hektare, dan register seluas 46 10.055 hektare. Semuanya berada pada wilayah Way Kanan Provinsi Lampung.
Dalam kerjasama ini terdapat masalah hukum pada tahun 2018, PT. PML tidak membayar PBB periode tahun 2018 sampai 2019 senilai Rp. 231 miliar, dan pinjaman dana reboisasi senilai Rp. 500 juta per tahun, atau Rp. 1 miliar ujar. Selain itu, PML tidak memberikan laporan pelaksanaan kegiatan per tahun. Lalu terdapat gugatan perdata hingga Mahkamah Agung mengeluarkan putusan, PML wajib membayar ganti rugi senilai Rp. 3,4 miliar.
Walau terdapat masalah hukum dan belum membayar ganti rugi PML tetap ingin kembali mengelola kawasan register tersebut. “Sudah enggak bayar PBB, tidak bayar reboisasi, tidak bayar kerugian, tapi PML masih mau mengelola. Mereka wanprestasi, dan masih mau mengelola, harusnya karena gagal bayar ya terblacklist,” katanya
Kronologis
Pada Juni 2024, PT. Direktur PML Djunaidi bertemu dengan Direksi dan Komisaris Inhutani. Ini berkaitan dengan pengelolaan hutan PML dalam rencana kerja usaha pemanfaatan hutan (RPKUPH).
Lantas, pada Agustus 2024 Djunaidi memberikan uang Rp.4,2 miliar untuk pengamanan Tamanan dan kepentingan Inhutani. Dana itu masuk kepada rekening Inhutani. Saat itu, Direktur Inhutani V, Dicky menerima uang tunai dari saudara DJN senilai Rp100 juta, yang tergunakan untuk keperluan pribadi.
“Ini suda ada suapnya, sekitar Rp. 100 juta,” katanya.
Selanjutnya pada November 2024 Dicky menyetujui permintaan PML untuk mengubah RKUPH. Ada penambahan perluasan lahan pengelolaan register 42,44, dan 46 Way Kanan. Kemudian ia juga mengakomodir sejumlah dokumen yang berisikan kepentingan PML.
Lalu Djunaidi meminta staf PML membuat bukti setor yang terekap dengan nilai Rp. 3 miliar dan Rp. 4 miliar dari PT. PML kepada PT. INH. Sehingga pembukuan perusahaan menjadi hijau, pasca adanya evaluasi dari kinerja Dicky selaku Direktur Inhutani V, sehingga ia tidak terganti. SUD lalu menyampaikan kepada saudara DJN bahwa PT. PML sudah mengeluarkan dana Rp. 21 miliar kepada Inhutani untuk modal pengelolaan hutan.
Mobil Robicon
Kemudian pada Juli 2025 Djunaidi dan Dicky bertemu. Dicky meminta mobil baru dengan harga mencapai Rp 2,3 miliar. Ini sebagai penambahan luasan lahan. Lalu pada Agustus 2025 Aditya memberikan uang SGD189.000 atau Rp.2,3 miliar dari Djunaidi, untuk Dicky untuk membeli mobil tersebut.
Oleh sebab itu Djunaidi dan Aditya terjerat Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagaimana telah terubah dengan UU Nomor. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Sementara itu, Dicky terjerat dengan Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagaimana telah terubah dengan UU Nomor. 20 Tahun 2001. KPK Menyita uang Rp. 2,4 miliar dan satu unit mobil Rubicon dari perkara ini.