Jakarta (Lampost.co) — Pakar hukum keuangan menegaskan uang sitaan negara senilai Rp6,6 triliun wajib masuk kas negara sebelum menggunakannya. Aturan ini berlaku tanpa pengecualian, termasuk untuk penanganan bencana maupun insentif lembaga.
Poin Penting:
-
Uang sitaan Rp6,6 triliun wajib masuk kas negara dan tercatat sebagai PNBP.
-
Penggunaan langsung melanggar mekanisme keuangan negara.
-
Bisa mengalokasikan dana untuk bencana setelah masuk APBN.
Mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Yunus Husein, menilai mekanisme tersebut krusial. Menurutnya, negara harus menjaga akuntabilitas setiap rupiah hasil pemulihan aset tindak pidana korupsi.
Yunus juga menjelaskan uang sitaan Kejaksaan Agung melalui Satgas PKH tidak bisa langsung memakainya. Oleh karena itu, seluruh dana wajib tercatat sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP). “Uang sitaan Rp6,6 triliun itu harus masuk kas negara dulu. Setelah itu, dana kembali ke sistem anggaran,” kata Yunus, Kamis, 25 Desember 2025.
Baca juga: Kejagung Copot Kajari Hulu Sungai Utara Kasus Pemerasan Penegakan Hukum
Selain itu, Yunus menilai mekanisme PNBP menjadi pintu utama pengawasan publik. Dengan demikian, negara bisa mencegah penyalahgunaan uang sitaan.
Selain itu, Yunus menegaskan penggunaan langsung dana rampasan berpotensi melanggar hukum keuangan negara. Bahkan, niat baik tetap harus tunduk pada prosedur resmi. “Tidak bisa serta-merta memakai uang sitaan. Harus masuk kas negara, baru mengalokasikan,” ujar Yunus.
Namun, Yunus membuka ruang pemanfaatan dana tersebut setelah masuk sistem anggaran. Pemerintah, menurutnya, dapat mengalokasikan dana untuk kebutuhan prioritas nasional.
Misalnya, pemerintah bisa mengusulkan uang sitaan untuk pemulihan bencana alam. Selain itu, dana dapat juga menggunakan untuk program sosial atau pembangunan strategis.
“Kalau presiden atau kementerian ingin bantu bencana di Sumatra, silakan ajukan. Mekanismenya jelas,” ujarnya.
Insentif Kelembagaan
Di sisi lain, Yunus menilai dana pemulihan aset juga bisa menjadi insentif kelembagaan. Namun, pemberian insentif tersebut harus kepada institusi, bukan individu.
Ia menyebut lembaga penegak hukum, seperti Kejaksaan dan PPATK, berpotensi menerima insentif anggaran. Akan tetapi, pemberian tersebut harus melalui persetujuan anggaran negara. “Bisa saja lembaga mendapat bagian sebagai anggaran. Tetapi bukan untuk orang per orang,” katanya.
Yunus juga menambahkan berbagai negara maju lazin menerapkan praktik tersebut. Amerika Serikat, misalnya, memberi ruang insentif kelembagaan atas keberhasilan pemulihan aset.
Walaupun begitu, Yunus mengingatkan pentingnya prinsip transparansi. Negara harus memastikan tidak ada konflik kepentingan dalam pengelolaan uang sitaan.
Selain transparansi, akuntabilitas juga menjadi kunci utama. Oleh sebab itu, seluruh alokasi dana wajib tercatat dalam APBN.
Ia menilai wacana penggunaan uang sitaan sering memicu salah persepsi publik. Banyak pihak mengira dana rampasan bisa langsung memakainya kapan saja.
Padahal, sistem keuangan negara memiliki tahapan ketat. Setiap penggunaan anggaran harus melalui proses perencanaan, persetujuan, dan pengawasan.
Karena itu, Yunus meminta publik memahami mekanisme hukum yang berlaku. Pemahaman tersebut penting agar diskursus publik tetap rasional. “Intinya, semua harus kembali ke sistem. Transparan dan akuntabel,” katanya.
Dengan demikian, polemik uang sitaan Rp6,6 triliun menegaskan pentingnya tata kelola keuangan negara. Negara wajib menempatkan hukum sebagai panglima dalam setiap kebijakan.







