Jakarta (Lampost.co) — Moralitas Bupati Aceh Selatan, Mirwan MS, yang pergi umrah saat warganya terdampak bencana menjadi sorotan. Padahal, kehadiran pemimpin di tengah kesulitan akan memberikan dampak besarm baik dalam penanganan maupun bagi para korban.
Poin Penting:
-
Pengamat menilai umrah saat bencana tidak etis.
-
Sense of crisis pejabat menjadi sorotan.
-
Kemendagri didorong menjatuhkan sanksi.
Pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah, mengkritik moralitas pejabat yang seolah tidak peduli saat bencana Sumatra. Padahal, sikap aparatur negara harus mencerminkan empati dan tanggung jawab publik. Namun, sejumlah perilaku pejabat justru mencederai rasa keadilan warga terdampak.
Umrah saat Banjir Dinilai Tidak Etis
Trubus menyoroti Bupati Aceh Selatan Mirwan yang berangkat umrah saat banjir belum tertangani sepenuhnya. Alasan kondisi banjir sudah surut tidak menggugurkan kewajiban kepemimpinan.
Baca juga: DPR Desak Kemendagri Periksa dan Jatuhkan Sanksi jika Bupati Aceh Selatan Melanggar
Menurutnya, pemimpin seharusnya berada di tengah warga hingga pemulihan selesai. Kehadiran kepala daerah penting untuk mengoordinasikan bantuan dan pemulihan.
Pertanyakan Sense of Crisis
Trubus juga menilai keberangkatan itu menunjukkan ketiadaan sense of crisis seorang pejabat publik. Tindakan tersebut mencerminkan lemahnya kepekaan sosial.
Sikap tersebut juga melukai perasaan warga yang sedang berduka. “Berangkat umrah di saat bencana menunjukkan kurangnya tanggung jawab. Dari sisi etika dan moralitas, langkah itu tidak pantas,” ujar Trubus, Jumat, 5 Desember.
Dorongan Sanksi Tegas dari Kemendagri
Trubus meminta Kementerian Dalam Negeri menjatuhkan sanksi tegas kepada Mirwan. Sebab, ketegasan perlu agar pejabat lain tidak meniru tindakan serupa.
Menurutnya, pembinaan tanpa sanksi tidak akan memberi efek jera. Dia menyarankan penonaktifan sementara jika pelanggaran terbukti.
Trubus juga menyebut ibadah umrah bersifat sunah dan tidak wajib. Kewajiban melayani warga harus menjadi prioritas utama kepala daerah.
Menurutnya, kepemimpinan tidak boleh berhenti hanya karena agenda pribadi. Pemimpin harus memberi teladan pengabdian di saat darurat.
Sorotan untuk DPRD Padang Pariaman
Kritik juga mengarah pada anggota DPRD Padang Pariaman. Mereka justru melakukan kunjungan kerja ke Sleman saat banjir melanda daerahnya.
Trubus menilai bias menunda atau bahkan membatalkan perjalanan tersebut. Tindakan tersebut sebagai pengkhianatan terhadap konstituen.
“Wakil rakyat seharusnya berada di pusat krisis. Perjalanan dinas saat bencana mencerminkan ketidakpedulian,” katanya.
Kritik terhadap Pencitraan Elite Politik
Trubus juga menyesalkan praktik pencitraan saat bencana oleh sebagian elite yang memanfaatkan penderitaan warga untuk kepentingan citra. Bantuan sering berubah menjadi konten media sosial.
Ia mengambil contoh pejabat yang mendistribusikan bantuan sambil direkam. “ Di media sosial bertebaran video pejabat yang menyalurkan bantuan. Hal itu bisa menimbulkan persepsi pencitraan di tengah penderitaan masyarakat yang terkena bencana,” ujarnya.
Perbandingan dengan Peran Sukarelawan
Trubus juga membandingkan kinerja influencer Ferry Irwandi. Dia memuji penggalangan dana yang mencapai miliaran rupiah dan turun langsung membantu korban tanpa mencari sorotan. “Dalam kondisi seperti ini ketulusan lebih penting daripada liputan,” katanya.
Kasus ini menguji standar etika pejabat publik karena masyarakat menuntut keteladanan, bukan simbolis. Kepercayaan publik bergantung pada konsistensi sikap pemimpin. Negara memerlukan pemimpin yang hadir saat krisis.








