Jakarta (Lampost.co) — Mahkamah Konstitusi (MK) mendorong Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menerapkan kebijakan rotasi dan penataan ulang komposisi alat kelengkapan dewan (AKD). Hal tersebut untuk memastikan keterwakilan 30 persen perempuan terpenuhi.
Poin Penting:
-
MK menilai kuota 30 persen perempuan DPR dalam AKD wajib demi keadilan konstitusional.
-
DPR untuk membuat aturan internal tegas melalui tata tertib dan kebijakan fraksi.
-
Keterwakilan perempuan bukan sekadar simbolik, melainkan bagian dari politik hukum nasional dan SDGs.
Wakil Ketua MK, Saldi Isra, menegaskan DPR harus mengambil langkah konkret agar kuota keterwakilan perempuan DPR dalam setiap AKD benar-benar terlaksana. Ia menilai penguatan aturan internal menjadi langkah penting dalam mewujudkan kesetaraan gender di parlemen.
“DPR dapat membuat aturan tegas dalam tata tertib agar setiap fraksi menugaskan anggota perempuan di setiap AKD sesuai kapasitasnya. Minimal 30 persen dari anggota fraksi di AKD harus perempuan,” ujar Saldi Isra di Jakarta, Kamis, 30 Oktober 2025.
Baca juga: Kuota 30 Persen Perempuan di DPR Jadi Fondasi Demokrasi Setara dan Adil
Rotasi dan Distribusi Perempuan di AKD
Menurut Saldi, fraksi perlu menerapkan sistem rotasi pimpinan AKD dan pemerataan posisi perempuan. Selama ini, kata dia, perempuan kerap terkonsentrasi di bidang sosial, sementara bidang strategis, seperti keuangan dan pertahanan, masih dominan laki-laki.
“Fraksi memiliki peran strategis karena penempatan anggota di AKD merupakan kewenangan mereka. Prinsip pemerataan dan keseimbangan gender harus mendapat internalisasi dalam kebijakan fraksi,” katanya.
Ia juga menambahkan Badan Musyawarah (Bamus) DPR juga memegang peran penting untuk melakukan evaluasi berkala terhadap komposisi gender dalam AKD. “Bamus harus memberi rekomendasi jika menemukan ketimpangan keterwakilan perempuan antarfraksi atau antarbidang,” ujar Saldi.
Kuota sebagai Keadilan Konstitusional
MK juga menilai absennya ketentuan kuota minimal 30 persen perempuan dalam posisi pimpinan AKD bertentangan dengan semangat konstitusi. Tanpa aturan itu, peluang perempuan menjadi pimpinan AKD semakin kecil karena sistem musyawarah kerap menghasilkan dominasi laki-laki.
“Dengan formula 30 persen, ukuran keadilan menjadi jelas dan implementasinya bisa terukur. Karena itu, dalil para pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 427E Ayat (1) huruf b UU Nomor 2 Tahun 2018 beralasan menurut hukum,” kata Saldi.
Ia menegaskan pengaturan kuota perempuan DPR bukan semata persoalan representasi, melainkan bagian dari politik hukum nasional yang menegakkan prinsip kesetaraan gender dan keadilan sosial.
Perempuan Bawa Perspektif Baru dalam Politik
Saldi menegaskan kehadiran perempuan dalam lembaga legislatif tidak boleh hanya sebatas angka. “Kehadiran perempuan dalam setiap AKD adalah bagian dari politics of presence dan politics of ideas. Mereka membawa perspektif khas yang memperkaya kebijakan publik,” ujarnya.
Menurut MK, Indonesia sebagai negara yang berkomitmen terhadap sustainable development goals (SDGs) wajib memastikan partisipasi penuh perempuan dalam setiap pengambilan keputusan. “Perempuan harus memiliki kesempatan setara dalam kepemimpinan politik, ekonomi, dan publik,” katanya.
Permohonan Koalisi Perempuan Indonesia
Pengajuan permohonan Perkara Nomor 169/PUU-XXII/2024 yang memicu putusan oleh Koalisi Perempuan Indonesia, Perludem, Kalyanamitra, dan Titi Anggraini. Mereka menilai hak konstitusional perempuan dirugikan karena keterwakilan perempuan dalam pimpinan AKD DPR periode 2024—2029 masih jauh di bawah 30 persen.
Menurut para pemohon, rendahnya keterwakilan perempuan DPR dalam struktur pimpinan AKD menyebabkan perspektif kebijakan publik menjadi timpang. Mereka menegaskan, tanpa kebijakan afirmatif dan aturan yang jelas, kesetaraan gender politik sulit tercapai.








