
Banjir melanda dan kemana hanyutnya pendidikan kita? Pertanyaan ‘nyeleneh’, tapi mengena. Apa hubungannya peristiwa banjir dengan pendidikan? Sepintas tak ada, namun jika kita renungkan kembali dengan hati dan pikiran yang lapang, kita akan menemukan titik temunya. Bukankah banjir menjadi salah satu peristiwa alam yang ada andil tangan-tangan manusia di dalamnya?
Kitab suci mengingatkan, bahwa betapa kerusakan di muka bumi ini tak lepas dari ulah manusia itu sendiri.
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” QS. Ar-Rum: 41
Banjir menjadi peristiwa rutin yang berulang. Kita menyesali ketika musibah ini kembali datang, sayangnya seolah kita tak pernah jera dan lupa untuk mengantisipasinya. Kita riuh ramai ketika bencana datang. Sibuk menyalahkan sana dan sini. Berjanji ingin berbenah, kemudian lupa diri ketika banjir berlalu sementara waktu. Kita kembali abai bahwa alam memiliki hak yang harus juga terpenuhi.
Apa yang terjadi sesungguhnya, kenapa kita tidak belajar dari peristiwa yang selalu berulang? Bukankah sebagaimana telah diingatkan dalam kita suci, bahwa bencana yang terjadi seharusnya menjadi pengingat agar kita kembali pada jalan yang benar? Apa yang salah dari proses belajar kita? Kemana pendidikan kita yang selama ini digadang-gadang berciata-cita mencetak manusia-manusia yang cerdas akademik dan berkarakter mulia.
Pendidikan Bermakna
Puncak dari pencapaian tertinggi pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara adalah menghantarkan anak meraih keselamatan dan kebahagiaan. Adalah benar ketika dalam prosesnya, belajar mesti mendekat dengan kehidupan nyata, sebagai jembatan menuju pencapaian tesebut. Belajar hendaknya menjadi proses bermakna yang mampu memberi solusi dari sederet persoalan.
Mendekatkan anak dengan kehidupannya tidak hanya penting untuk membangun kesadaran bahwa keberadaannya mesti menjadi sumber solusi. Pun, proses belajar yang bermakna itu dapat meneguhkan sekolah sebagai tempat belajar yang memberdayakan dan menyenangkan. Inilah yang melahirkan ikatan yang kuat antara sekolah dengan peserta didik. Dengan begitu, mereka akan bersemangat, penuh antusias, dan sukarela mengikuti proses pembelajaran.
Michael Fullan dalam bukunya Deep Learning; Engage the World, Change the World menceritakan seorang anak bernama Christopher dari Ontario, Kanada yang semula tak bersemangat belajar di sekolah, berubah menjadi anak yang aktif, antusias, bahkan mampu menggerakkan teman-temannya untuk mengikhtiarkan cita-cita mereka.
Pada satu kesempatan, Christopher bertanya kepada gurunya, “apakah anak-anak bisa membuat perbedaan untuk dunia?”. Dengan pertanyaan itu seolah ia ingin mengatakan apa sesusungguhnya manfaat dari kita bersekolah? Apakah dengan bersekolah kita dapat berkontribusi untuk kehidupan?
Guru Christopher menangkap pertanyaan ini sebagai pintu masuk untuk memulai perjalanan belajar yang bermakna. Ketika guru dan sekolah memfasilitasi kegelisahan Christopher, dia tumbuh menjadi anak yang luar biasa. Bahkan ide-ide yang dirumuskan bersama teman-temannya menembus dinding sekolah. Pikiran mereka terbang bebas guna menemukan cara agar dapat berkontribusi untuk dunia.
Belajar seolah sedang menjalankan misi petualangan yang menyenangkan dan penuh makna.
Mereka belajar, berkolaboasi, menghidupkan rasa percaya diri, dan membuka ruang perjumpaan yang lebih luas dengan lembaga lain yang dapat menjadi mitra. Adalah tugas sekolah dan pemangku kepentingan memfasilitasi proses belajar bermakna ini, sehingga peserta didik hadir sebagai bagian dari kehidupan masyarakatnya.
Bayangkan jika, pendidikan kita memfasilitasi semangat peserta didik untuk mempelajari banyak hal yang relevan dengan konteks hidupnya. Mungkin tamu tahunan—banjir yang selalu kembali datang dan menjadi permasalahan yang berulang dapat teratasi. Paling tidak, dengan langkah-langkah kecil yang mereka lakukan dapat menumbuhkan kesadaran bahwa menjaga dan mengembalikan hak alam bisa berawal dari individunya.
Tentu saja, bahwa porses belajar bukan sekedar pengusaan teori. Atau hanya menempatkan peserta didik sebagai objek belajar. Mereka harus menjadi subjek belajar yang aktif. Sebagaimana Christopher dan teman-temannya yang merumuskan, menemukan, dan melakukan apa yang menjadi programnya secara mandiri. Belajar seolah sedang menjalankan misi petualangan yang menyenangkan dan penuh makna.
Sekarang Bagaimana?
Pertanyaannya adalah bagaimana menghadirkan pendidikan yang bermakna? Hal pertama yang penting diinsyafi bahwa pendidikan tak seharusnya dibebankan sepeuhnya kepada guru di sekolah. Menghadirkan pendidikan bermakna adalah tugas bersama dalam ikatan sebuah sistem yang saling terhubung dan mempengaruhi. Kita tak bisa sendiri.
Ki Hajar Dewantara dengan baik mengingatkan pentingnya kehadiran tiga pilar pendidikan sebagai Tri Pusat Pendidikan, yaitu sekolah, keluarga, dan masyarakat. Dalam tiga alam inilah pribadi yang cerdas dan berkarakter mulia tertempa. Sebagai sistem jaringan yang terhubung, adalah tugas masing-masing alam tersebut untuk berbenah dan berkolaborasi, memastikan keberadaanya baik dan mendukung sistem agar dapat bekerja dengan maksimal.
Begitulah pendidikan seharusnya kita bangun. Pendidikan harus hadir agar tak terbawa arus banjir yang kerap melanda. Bencana alam, serupa banjir mungkin tak bisa ditolak, tapi paling tidak bisa diantisipasi dan diminimalisir dampaknya. Pendidikan yang bermakna mempertemukan kita dengan realita. Ingatlah, bahwa bumi ini adalah titipan Tuhan. Dan adalah tugas kita menjaganya agar kembali kepada Yang Empunya dalam keadaan baik sebagaimana mestinya. Wallahu a’alam bishawab