Bandar Lampung (Lampost.co) — Partai Gerindra merespons soal Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri yang melayangkan surat amicus curiae atau sahabat pengadilan. Surat tersebut hadir menjelang putusan sengketa Pilpres 2024 kepada Mahkamah Konstitusi (MK).
Ketua Harian Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad menyebut bahwa amicus curiae adalah pendapat hukum bagi yang berkepentingan namun tidak terkait dan tidak berkepentingan langsung.
“Untuk itu sebagai substansi juga kita sudah sama-sama tahu. Apa yang ada dalam amicus curiae itu juga sudah tersampaikan oleh kuasa hukum dari paslon nomor 3 dan sudah terpatahkan. Terpatahkan dalam sidang MK,” terang Dasco di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu, 17 April 2024.
Oleh karena itu, kata Dasco, dalam Undang-Undang MK maupun dalam UU Pemilu tidak ada amicus curiae itu masuk ke dalam perimbangan-pertimbangan hakim.
Sebelumnya, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mengajukan diri sebagai amicus curiae atau sahabat pengadilan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sidang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pilpres. Hal itu tersampaikan langsung Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dan Djarot Saiful Hidayat yang menyerahkan surat kuasa kepada MK pada Selasa, 16 April 2024 siang.
KPU
Komisi Pemilihan Umum (KPU) menegaskan istilah amicus curiae yang dalam Bahasa Indonesia dikenal sebagai sahabat pengadilan tidak mengenal dalam undang-undang (UU). Baik UU Mahkamah Konstitusi (MK) sampai aturan turunannya, maupun UU Pemilu.
Hal itu tersampaikan anggota KPU RI Idham Holik menanggapi banyaknya amicus curiae yang tersampaikan oleh berbagai pihak ke MK. Termasuk dari Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri. Amicus curiae itu tersampaikan Megawati terkait perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden-Wakil Presiden 2024. Perkara tersebut tinggal menunggu agenda pembacaan putusan dalam waktu dekat.
“Dalam Peraturan MK Nomor 4/2023 (tentang Tata Beracara Dalam Perkara PHPU Presiden dan Wakil Presiden). Tidak ada istilah amicus curiae. Begitu juga dalam UU Pemilu,” kata Idham.
Idham juga menyinggung ketentuan dalam UU Nomor 24/2003 tentang MK. Ia menegaskan bahwa salah satu pertimbangan majelis hakim konstitusi dalam merumuskan putusan berdasarkan pada alat bukti yang terajukan ke persidangan.
UU MK
Berdasarkan Pasal 36 ayat (1) UU tentang MK, alat bukti terbagi menjadi enam jenis, yakni surat atau tulisan, keterangan saksi, keterangan ahli. Kemudian keterangan para pihak, petunjuk, dan alat bukti lain berupa informasi yang terucapkan, terkirimkan, terterima, atau tersampaikan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.
Bagi Idham, istilah surat dalam beleid itu bukanlah amicus curiae, melainkan surat yang terbitan para pihak yang bersidang pada PHPU. Khususnya surat terbitan oleh pihak termohon. Dalam sengketa hasil Pilpres 2024, KPU duduk sebagai termohon.
“Artinya alat bukti yang dapat menjadi pertimbangan oleh majelis hakim adalah alat bukti yang terserahkan dalam proses persidangan dan tercatat oleh panitera persidangan. Alat bukti harus memuat atau berisikan fakta objektif atas sebuah peristiwa,” terangnya.
Ia juga menyebut beleid dalam UU tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai kekuasaan negara yang merdeka. Hal itu untuk menggelar peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan konstitusi.
“Saya sangat yakin bahwa Yang Terhormat majelis hakim MK memiliki integritas tinggi yang berpedoman pada kekuasaan kehakiman. Majelis Hakim MK memiliki independensi atau kemerdekaan dalam merumuskan dan menetapkan putusan, dalam hal ini putusan PHPU Pilpres 2024,” tandas Idham.