Bandar Lampung (Lampost.co) — Salah satu isu yang kerap kali muncul dalam pemilihan kepala daerah (
Pilkada) yakni
mahar politik terus menjadi sorotan. Apalagi pesta 5 tahunan ini akan berlangsung sebentar lagi pada 27 November 2024 mendatang.
.
Sementara saat ini, partai politik sedang melakukan penjaringan bakal calon. Baik itu gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota. Dugaan pemberian mahar politik sebagai syarat calon mendapat perahu partai menjadi perhatian.
.
Hal tersebut pengamat politik dari Universitas Lampung,
Darmawan Purba. Ia membeberkan beberapa faktor yang memicu adanya potensi mahar politik dalam rekrutmen calon kepala daerah.
.
.
Menurut Darmawan, mahar politik bisa terjadi akibat tidak optimalnya kaderisasi partai politik. Hal ini membuat partai politik menjadi kesulitan dalam merekomendasikan kader terbaik untuk masuk nominasi dalam pilkada.
.
Kader-kader terbaik partai menurutnya justru cenderung tidak popular di masyarakat, terlebih lagi soal kepemilikan modal ekonomi yang terbatas. “Sehingga parpol melakukan open recruitment calon kepala daerah yang seharusnya secara internal,” kata Darmawan, Rabu, 29 Mei 2024.
.
Kemudian faktor lainnya adanya ambang batas syarat pencalonan minimal 20 persen kursi parlemen atau 25 persen perolehan suara partai. Persyaratan ini, menyebabkan sangat sedikit partai politik yang mampu memenuhi ketentuan ini. Hal ini karenakan sistem multi partai Indonesia.
.
“Akibatnya sangat jarang adanya partai yang dominan. Pada bagian ini, tarik menarik kepentingan dalam pembentukan koalisi pencalonan kepala daerah kerap bersinggungan dengan urusan kepemilikan modal ekonomi para kandidat,” katanya.
.
Masalah Keuangan
.
Tak hanya itu, besarnya biaya politik, pilkada yang berlangsung 20 tahun terakhir. Menurutnya, selalu berhadapan dengan tingginya biaya resmi dan tidak resmi yang harus keluar dari kantong kandidat kepala daerah.
.
Selanjutnya, masalah kemandirian keuangan partai politik selama ini menurutnya masih sangat minim. Akibatnya parpol akan sangat tergantung terhadap pendanaan. Apalagi yang bersumber dari kompensasi dukungan kepada kandidat yang ingin terusung oleh parpol dalam pilkada.
.
“Terlebih pemilu setelah pemilu legislatif dan presiden yang lalu sangat menguras energi dan menghabiskan biaya yang sangat tinggi. Jadi sangat mungkin, melalui momentum pilkada elit-elit partai berkepentingan untuk menghimpun dana melalui pemberian rekomendasi,” paparnya.
.
Kemudian, redupnya ideologi partai politik juga turut mempengaruhi praktik mahar politik jelang pilkada. Darmawan menyebut, dalam praktiknya partai politik kerap menjalin kerjasama politik atau koalisi. Apalagi dalam pencalonan kepala daerah berlandaskan kepentingan yang sama dan mendesak atau koalisi pragmatis.
.
“Sangat jarang partai politik membangun koalisi yang terlandasi oleh kesamaan prinsip, nilai, dan gagasan berupa koalisi ideologis. Praktik ideologi politik sangat jarang terjadi dalam proses pencalonan kepala daerah, termasuk untuk pilkada 2024 mendatang,” urainya.
.
Kader Terbaik
.
Merujuk pada sejumlah fenomena minor yang menyertai proses pencalonan kepala daerah. Maka indikasi praktik mahar politik dalam Pilkada 2024 masih sangat rentan. Untuk itu, ia menilai perlu ada transparansi dan pengawasan proses kandidasi calon kepala daerah melalui partai politik.
.
“Komitmen yang kuat dari elit partai politik untuk mengutamakan kader-kader terbaik partainya. Kemudian komitmen elit partai politik untuk mengembangkan model koalisi. Minimal yang memungkinkan ada banyak pasangan calon yang terusung, bisa saja 3 sampai 5 pasangan calon,” ujarnya.
.
Pada bagian lain, perlu kebijakan menaikkan anggaran untuk menanggung pembiayaan pilkada termasuk pembiayaan kampanye pasangan calon kepala daerah. Sehingga calon kepala daerah dan partai politik tidak terbebani biaya pemilihan yang sangat tinggi.
.
Namun demikian, Akademisi Ilmu Pemerintahan Unila ini juga melihat adanya gejala politik transaksional level elit dan masyarakat yang semakin marak. Hal ini menggambarkan besarnya potensi praktik berburu rente oleh elit partai dalam memberikan rekomendasi politik kepada calon kepala daerah.
.
Selanjutnya elit-elit partai politik sangat potensial akan memberikan rekomendasi kepada kandidat yang memiliki peluang menang terbesar dan memiliki modal ekonomi yang besar. Pada situasi ini, para kandidat kepala daerah menurutnya akan mengalami dilema menghadapi proses politik demikian.
.
“Terlepas dari semua itu, kandidat kepala daerah harus memiliki kemauan dan kemampuan dalam menghadirkan pemerintahan yang manusiawi. Yaitu pemerintahan yang sungguh-sungguh memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat,” tandasnya.